PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN
Pengertian Pembangunan Berkelanjutan
Melestarikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak bisa
ditunda lagi dan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau
pemimpin negara saja, melainkan tanggung jawab setiap insan di bumi,
dari balita sampai manula. Setiap orang harus melakukan usaha untuk
menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan
kapasitasnya masing-masing.
Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa
Inggris,sustainable development. Istilah pembangunan berkelanjutan
diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (StrategiKonservasi
Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme
(UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources (IUCN), dan World WideFund for Nature (WWF) pada 1980. Pada
1982, UNEP menyelenggarakan sidang istimewamemperingati 10 tahun gerakan
lingkungan dunia (1972-1982) di Nairobi, Kenya, sebagai reaksi
ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama ini. Dalam sidang
istimewa tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan
dan Pembangunan (World Commissionon Environment and Development - WCED).
PBB memilih PM Norwegia Nyonya Harlem Brundtland dan mantan Menlu Sudan
Mansyur Khaled, masing-masing menjadi Ketua dan Wakil Ketua WCED.
Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan
adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang
berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan
kebutuhan generasi masa depan”.
Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa
mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Indikator / Kriteria Pembangunan Berkelanjutan
Secara umum konsep pengembangan kota berkelanjutandidefinisikan sebagai
pengembangan kota yang mengedepankanadanya keseimbangan antara aspek
ekonomi, sosial-budaya danlingkungan hidup. Keseimbangan ini penting
untuk menjamin adanya keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam
yangtersedia, tanpa mengurangi peluang generasi yang akan datang untuk
menikmati kondisi yang sama.0 Januari 2009 pukul 1Phase 1 Phase 2 Phase 3
Berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, maka
indikatorpembangunan berkelanjutan tidak akan terlepas dari aspek-aspek
tersebut diatas, yaitu aspek ekonomi,ekologi/lingkungan, sosial,
politik, dan budaya. Sejalan dengan pemikiran tersebut,
Djajadiningrat(2005) dalam bukuSuistanable Future: Menggagas Warisan
Peradaban bagi Anak Cucu, Seputar Pemikiran Surna Tjahja Djajadiningrat,
menyatakan bahwa dalam pembangunan yangberkelanjutan terdapat aspek
keberlanjutan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Keberlanjutan Ekologis
2. Keberlanjutan di Bidang Ekonomi
3. Keberlanjutan Politik
4. Keberlanjutan Sosial dan Budaya
5. Keberlanjutan Pertahanan Keamanan
Prof. Otto Soemarwoto dalam Sutisna (2006), mengajukan enam tolak ukur
pembangunan berkelanjutan secara sederhana yang dapat digunakan baik
untuk pemerintah pusat maupun didaerah untuk menilai keberhasilan
seorang Kepala Pemerintahan dalam pelaksanaan proses. pembangunan
berkelanjutan. Keenam tolok ukur itu meliputi:
a. Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi
ditujukan untukkesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai
melalui teknologi inovatif yangberdampak minimum terhadap lingkungan.
b. Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non
antroposentris yang menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka
selalu mengupayakankelestariandan keseimbangan lingkungan, konservasi
sumberdaya alam vital, danmengutamakanpeningkatan kualitas hidup non
material.
c. Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan
akses terhadapsumberdaya alam dan pelayanan publik, menghargai
diversitas budaya dan kesetaraan jender.
Zoning Regulation untuk Mewujudkan Kota Berkelanjutan
Rencana tata ruang kota yang baik nampaknya juga belum cukup untuk
mewujudkan keberlanjutan. Dalam upaya implementasinya rencana tata ruang
harus disertai dengan perangkat peraturan zonasi (zoning code), yang
mengatur secara tegas kegiatan apa yang boleh, apa yang bersyarat dan
apa yang dilarang pada setiap jenis zona peruntukan. Pelanggaran
terhadap peraturan pemanfaatan tersebut akan diancam dengan sanksi.
Tanpa peraturan semacam ini, rencana tata ruang hanya akan menjadi macan
kertas. Bisa menggonggong tapi tidak bisa menggigit. Sehingga benar
apabila dikatakan: better regulation without planning, than planning
without regulation.
Peraturan zonasi ini tentu juga harus bersifat pro-lingkungan, terutama
terkait dengan upaya perlindungan dan pemulihan terhadap kawasan-kawasan
yang berpotensi menurunkan daya dukung kawasan, seperti pengaturan
tentang persyaratan RTH di lahan-lahan privat dan kawasan hunian,
ketentuan tentang sempadan sungai, danau, dan pantai serta lokasi-lokasi
yang diperuntukkan sebagai daerah resapan dan genangan sementara
(retention basin). Artinya pengembangan kawasan perkotaan harus
mendahulukan kawasan mana yang tidak boleh dibangun, bukan sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar